Waktu itu pergantian musim gugur menuju musim dingin di ujung bulan Oktober. Bersama seorang teman perempuan, saya berjalan kaki dari gang kecil di belakang toko buku Gilbert Jeune menuju sebuah kafe yang tergolong turistik bernama Café de Flore. Dalam bahasa Perancis, flore berarti bunga. Selain wine dan rosé, kafe ini terkenal dengan chocolate chaud atau minuman coklat hangat, kita bisa menuang sendiri susu dan coklatnya. Saat duduk di teras kafe sambil menikmati alunan biola pemusik jalanan Parisien memainkan tembang “la vie en rose”, imajinasi tentang cinta seketika lengket di kepala, meski saat sedang sendiri atau bersama.
Kafe ini tentunya juga saksi cerita cinta. Pada 1940an hingga 1950an, para pemikir Perancis secara rutin bertemu dan berdiskusi di Café de Flore dan juga Café Deux Magots yang terletak persis di sebelahnya, diantaranya ada pasangan Simone de Beauvoir dan Jean Paul Satre. Duo filsuf yang sering disebut mengalami cinta platonik, sebuah konsep cinta yang berarti tidak selalu memiliki yang dicinta. Dalam bahasa Perancis, je t’aime adalah ungkapan yang berarti “aku mencintaimu“, namun dalam cinta platonik ungkapan tersebut j’aime à toi berarti “aku cinta pada mu“. Adanya perantara “pada“ yang memisahkan prediket “cinta“ dan objek “mu“ mengesankan “aku“ sebagai subjek tidak secara langsung menjadikan “mu“ sebagai objek kepemilikan. Cinta platonik menjadi cinta yang membebaskan individu. Hingga akhir hayat, Beauvoir dan Sartre tidak terikat pernikahan.
Beauvoir dan pasangannya Satre merupakan filsuf Perancis beraliran eksistensialis yang pusat pemikirannya pada perjuangan manusia akan kebebasan. Salah satu pemikiran Beauvoir yang terkenal adalah tentang pembebasan perempuan. Menurutnya, on n’est pas femme, on le devient, perempuan lahir sebagai manusia yang bisa memilih menjadi dirinya, tidak saklek mengikuti konsep menjadi perempuan yang ditetapkan masyarakat. Pandangan Beauvoir tentang keberadaan perempuan ia tuliskan dalam sebuah karya legendaris bejudul “le Deuxiéme Sexe“ (1949) menganalisa apa yang menjadi mitos dan fakta tentang proses menjadi seorang perempuan. Karya tersebut sempat menjadi bacaan terlarang oleh Vatikan periode itu.
Sartre sangat populer akan karya masterpiece-nya yang merupakan pedoman pemikiran eksensialisme berjudul “L’étre et le Néant”, berarti sedang dan ketiadaan. Ia membahas konsep hubungan manusia dengan dirinya dan yang lain. Sejak periode setelah perang dunia, Sartre aktif menuliskan karya-karya dengan topik eksensialisme dan humanisme. Sartre kemudian mendapat julukan Bapak Eksensialisme. Ia kemudian wafat pada 1980 diikuti Beauvoir enam tahun kemudian pada 1986.
Keduanya dimakamkan di Cimetière Montparnasse, tidak jauh dari Café de Flore berada, bisa di tempuh dengan sekitar 15 menit berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil atau lima menit dengan kereta cepat - Metro line 4. Cimetière Montparnasse yang terletak di antara statiun Metro Montparnasse Bienvenue dan Tour de Montparnasse merupakan tempat pemakaman tokoh-tokoh ternama Perancis pada abad 19 dan 20. Memasuki gerbang pemakaman, akan ditemukan petunjuk arah yang menerangkan bagian-bagian pemakaman berdasarkan golongan pemakaman seperti: penulis, pemahat, akademisi, penyanyi, artis, pelukis, penyair, dan lain sebagainya.
Cimetière Montparnasse merupakan pemakaman terbesar kedua di Paris setelah Père Lachaise. Pemakaman ini sangat hijau karena ditumbuhi pepohonan dan penuh bunga-bunga juga dari para pengunjung. Oleh karenanya, pemakaman termasuk salah satu ruang hijau di kota Paris yang menyenangkan untuk dikunjungi. Tak heran Cimetière Montparnasse juga merupakan tempat kencan, disamping bisa berjalan menyelusuri tempat peristirahatan tokoh-tokoh ternama, para pasangan tak akan kehabisan bahan obrolan tentang apa yang terjadi pada abad 19, 20, dan karya-karya yang besar pada masa itu. Jika udara terlalu dingin, selalu ada kafe-kafe di sekitaran Montparnasse yang menyajikan minuman coklat hangat, berbagai jenis wine, dan tentunya crépes yang terkenal enak juga berada di sini.
Kembali mengenang pasangan filsuf Sartre dan Beauvoir yang di kubur di pemakaman yang sama dengan satu nisan, semasa hidup keduanya kerap saling berkirim surat yang berisi ungkapan cinta dan pemikiran-pemikiran tentang situasi Perancis pada masa itu. Tiga tahun setelah Sartre wafat, pada 1983 Beauvoir mempublikasikan sebuah buku berisi kumpulan surat-surat Sartre yang ditujukan padanya. Publikasi ini diberi judul Lettres au Castor atau Surat kepada Castor yang merupakan nama panggilan Beauvoir yang diberikan oleh teman masa kecilnya.
Pada 1990 Sylvie Le Bon de Beauvoir yang merupakan anak angkat Beauvoir kemudian juga mempublikasikan surat-surat Beauvoir untuk Sartre, buku ini diberi judul Lettré à Sartre, berarti surat untuk Satre. Surat menyurat diantara keduanya berisi puisi-puisi cinta, ide-ide revolusi politik, filosofi, dan bahasan sosial dan kebudayaan pada masa sebelum perang dunia. Saya rasa kumpulan surat mereka ini cocok untuk di baca di segala musim.